This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 02 September 2016

KARENA SIWANG JADI BERUANG



Tergopoh – gopoh aku menuju dapur kemudian mengambil segelas air putih dingin, nikmat sekali ! Baru beberapa teguk air dingin itu ku nikmati, tiba – tiba terdengar teriakan di telingaku.
          “Mutiiiii, tunggu dulu sih ! Jangan cepat – cepat jalannya” Teriakan itu membangkitkan kesadaranku.
Duh ya Alloh, ternyata aku melamun. Aku sudah membayangkan segelas air dingin itu meluncur di tenggorokanku, tapi oh tapi itu semua hanya lamunanku. Kembali Yaya memanggil dan menjejeri langkahku.
“Muti, aku panggil dari tadi ga denger denger! Aku kan mau pulang bareng sama kamu”, papar Yaya.
Aku Cuma tersenyum malu, wah gawat ni kalo Yaya tahu aku melamun tadi. Bisa bisa aku diledek olehnya.
“Yaya, kenapa kamu jalan kaki ?”, tanyaku. “Biasanya kan kamu diantar jemput mang Bewok”
“Oh itu! Ehm mang Bewok lagi pulang kampung. Tapi nanti aku ga diantar jemput mang Bewok lagi. InsyaAlloh aku mau dibeliin sepeda sama ayahku, nanti sore. Jadi aku bisa berangkat dan pulang naik sepeda, trus bisa main sepeda sepedaan di tanah lapang tiap sore habis ngaji. Nanti ikutan main sepeda sepedaan, Mut”
Aku yang lemas karena sedang kehausan dan kelaparan, jadi makin lemas mendengar Yaya akan mempunyai sepeda. Aku juga ingin sekali mempunyai sepeda. Kan enak pastinya naik sepeda dari rumah ke sekolah berangkat dan pulangnya, tidak akan kecapean lagi. Juga tidak kehausan lagi. Dan pasti tidak tergoda untuk mampir di warung warung pinggir jalan yang aroma masakannya begitu sedap. Juga minimarket di sepanjang jalan menuju rumah yang terlihat minuman dinginnya. Uang sakuku selalu habis ketika pulang sekolah, jadi aku tidak bisa membeli cemilan ataupun minuman sepulang sekolah. Padahal ibuku selalu membekaliku cemilan dan 2 botol minuman untuk di sekolah. Tapi, kata ayahku si aku emang doyan makan hehehehe, jadi bekal dari ibuku selalu habis dan begitu pula uang sakuku. Itulah mengapa Ayahku menyarankanku untuk jalan kaki saja berangkat-pulang sekolah.
Ehm, bukannya malah nambah kurus, malah aku merasa makin nambah berat badanku. Soalnya tiap aku pulang sekolah, aku langsung menyantap hidangan yang dimasak ibuku sebanyak 2 piring, ups! aduh jangan sampai teman-temanku tahu ya. Bisa malu aku ni!
 Keinginanku punya sepeda makin menggebu. Aku pasti juga akan lebih cepat sampai dirumah, bisa istirahat dulu sebelum ngaji di masjid. Banyak banget untungnya kalo aku beli sepeda. Aha ! nanti aku akan bicarakan ini dengan Ibu. Siapa tau ibuku membelikanku sepeda.
Ehmm akhirnya sampai juga aku dirumah. Aku berpisah dengan Yaya di pertigaan. Yaya belok ke kiri, aku ke kanan.
“Assalamu’alaikum”, sahutku.
Rumahku sepi, ibu kemana ya? Aku memang baru kelas 3 SD. Umurku 8 tahun. Tapi, Aku sudah diajarkan oleh ibuku jika rumah sepi, maka aku harus ke rumah tetanggaku, namanya Bu Aos. Ibu selalu menitipkan kunci rumah ketika ada urusan yang membuat ibuku belum sampai rumah sebelum aku pulang.
“Assalamu’alaikum”, aku mengucap salam lagi, kali ini di rumah bu Aos. Rumah bu Aos cukup lebar. Ruang tamunya ada di sisi kanan warungnya. Oiya, Bu Aos punya warung yang menjual sembako dan jajanan lainnya. Aku paling suka beli krupuk melarat dan rujak sambel asem. Segarnya makanan itu. Keduanya merupakan makanan khas Cirebon.
Walaupun namanya krupuk melarat, tapi tidak membuat yang makannya jadi melarat ya. Biasanya penyajian krupuk melarat ini dipotong-potong dan ditaruh di kertas trus dikucuri sambal kacang yang nikmat banget rasanya.
Aku melirik ke warung bu Aos, sepi. Aku hanya melihat seplastik besar krupuk melarat beserta satu mangkuk besar sambel yang membuat perutku makin keroncongan. Aku buru buru mengalihkan pandangan dan langkahku ke ruang tamu bu Aos. Belum lagi aku mengucap salam, eh bu Aos muncul sambil membawa sayur-sayuran  untuk membuat rujak sambael asem.
“Aih, kebetulan ini neng Muti datang. Tadi ibu kamu menitipkan kunci ini”, kata Bu Aos.
“Ibu katanya harus ke kantor ayah. Mungkin pulang sore. Kata ibu gitu, Neng” lanjutnya.
“Oiya neng, pasti laper ya ? hayu atuh makan dulu. Ni dah bu Aos siapkan nasi lengko buat neng. Tadi ibu neng mesen gitu ke ibu supaya neng Muti dibuatkan nasi lengko dan lauknya silakan pilih sendiri,. Atau kalo mau krupuk melarat, boleh atuh neng ambil aja ya. Jangan malu malu nanti kelaperan hehehe”
Bu Aos sudah menyiapkan nasi lengko khas Cirebon, nasi beserta taburan irisan timun, tauge, tempe dan disiram sambal kacang.
“Mau makan dimana neng ? Mangga kalo mau makan disini boleh….” kata Bu Aos sambil menyerahkan nasi lengko di piring ke tanganku.
Akhirnya aku pilih makan di rumah saja karena badan ini sudah terasa lelah sekali. Kemudian akupun  pamit sambil tak lupa mengucapkan terimakasih. Aku memilih makan dirumah, karena bisa sambil selonjoran dan memikirkan bagaimana caranya ngobrolin keinginanku beli sepeda.
Akupun segera menutup pintu setelah masuk ke rumah. Aku mencari remot tivi, oh ternyata ada di meja makan. Lalu tanpa ganti baju, aku segera menyantap nasi lengko buatan bu Aos. Aih, padahal ibu selalu menyarankan kepadaku untuk selalu ganti baju seragam sekolah sepulang sekolah. Tapi ah biarlah, kali ini saja ya bu aku melanggar amanahmu, map ya bu, karena aku lapar!
“Muti, Muti….”
Terdengar sayup sayup kudengar suara memanggilku. Ya Alloh, itu seperti suara ibu. Rupanya aku tertidur. Oiya aku baru ingat aku di rumah sendirian. Aduh, kenapa aku ada dirumah ya. Aku biasanya kalo ditinggal ibu, pasti aku bermain bersama anak bu Aos. Oh rupanya aku kecapean setelah jalan kaki dari sekolah tadi. Oh iya, aku jadi ingat aku mau membicarakan sesuatu ke ibuku.
Bergegas aku membukakan pintu rumah.
“Assalamu alaikum, Muti”, kata ibuku setelah ku bukakan pintu.
“Sudah makan ? Tumben Muti ada di rumah? Biasanya kalo ibu ga ada di rumah,  Muti main sama Humnah.” Tanya ibuku.
Wah kesempatan ni aku mengutarakan keinginanku membeli sepeda.
“Muti udah makan bu, sama nasi lengko dan bala bala. Juga krupuk sambel” jawabku. “Bu, tadi Muti kecapean jadi ga main sama Humnah”
“oh gitu,,tapi sekarang udah ga kecapean lagi kan ?” Tanya ibuku lagi. “Ayo, bergegas ni udah sore nanti bentar lagi tante Firyal akan jemput kita menginap di rumah Tante Firyal” tegas ibuku
“Lho, bu kok nginep dirumah tante Firyal? Emang kita mau ngapain ? tanyaku
“Muti lupa ya… tante Firyal kan mau mengakikahi anaknya yang baru lahir. Ibu kan harus bantuin. Jadi ayo, segera kesana. Ibu dah siapkan baju bajumu di tas.”
“Ibu, tapi Muti masih cape, Bu”, rengekku
“Hahahaha,, kamu masih cape karena nasi lengkonya kurang banyak ya? Nih, ibu bawakan sebungkus docang special buat Muti”, ledek ibu.
Huh, sebel ga si diledekin kayak gitu. Ehm, emang iya juga si mungkin aku masih cape karena masih pengen makan lagi heheheehe. Akhirnya ku ambil juga docang itu. Docang juga makanan khas Cirebon.
“Bu, Muti tuh cape karena jarak sekolah ke rumah kalau siang itu terasa panjaaaaaaaang banget, Bu! Waktu kelas 1 dan 2 Muti kan enak dianter jemput sama ibu naik motor. Sekarang kelas 3, Muti cape bu harus jalan kaki. Mana teman teman Muti yang jalan kaki sekarang sudah pada punya sepeda, Bu. Trus, Yaya yang biasa  dianterin mang Bewok, juga mau beli sepeda”, ceritaku sambil menyeruput kuah docang yang ada parutan kelapanya.
“Lalu?” Tanya ibuku
“Ibuuuu, beliin sepeda buat Muti, plis!
“Muti, ibu juga ingin sekali membelikan Muti sepeda. Tapi Muti tahu kan, harga sepeda mahal, sayang!”
“Ehm, ambil aja uang tabungan Muti di sekolah, Bu. Bagaimana ? Muti ada tabungan 100.000”
“Hahahahha, Muti..Muti….uang sejumlah itu belum cukup untuk membeli sepeda, Sayang. Ehm, nanti deh kita tanya Tante Firyal barangkali masih punya sepeda milik kakak Fathan ya”, bujuk ibuku
“Ibu, seinget Muti sepeda kakak Fathan dah dirongsok deh bu. Asyik, berarti beli sepeda baru ya bu”
“ehm…ehm…anak ibu kalo dah minta sesuatu pasti harus diwujudkan. Gini, aja deh. Kalo Muti bisa ngumpulin uang sendiri buat beli sepeda, silakan beli. Tapi kalo ga bisa ngumpulin uang sendiri, maka tidak jadi beli sepeda, bagaimana ?”
“Ibu…trus Muti harus bagaimana bu? MUti baru punya uang kalo lebaran, kan banyak angpaw ke Muti. Tapi lebaran masih luamaaaaa, ibu. Ibu pelit deh!” sungutku
“Eh eh,,anak cantik kok bersungut sungut gitu ya. Tar ilang cantiknya. Banyak cara mendapatkan uang sayang, misalnya dengan menabung. Kalo lama ngumpulin uang dengan cara menabung, maka harus bagaimana ? Ayooo, anak ibu kan banyak akalnya, ayo mulai berfikir bagaimana caranya mendapatkan uang yang halal untuk beli sepeda. Ini tantangan buat Muti ya”
Akhirnya, obrolanku dengan ibupun berakhir. Kami segera bergegas menyelesaikan makan dan beranjak untuk shalat kemudian pergi menuju rumah Tante Firyal.
Sepanjang perjalanan menuju rumah tante Firyal, aku berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang ya buat beli sepeda. Apakah aku harus menyisihkan uang sakuku untuk beli sepeda? Ah tapi kata ibu harga sepeda mahal. Kalo iya uang sakuku ditabung, aduh bakalan makin lemas aku pulang sekolahnya, dan menabung ditambah uang saku juga butuh waktu lama. Aduh aku harus bagaimana ?
Akhirnya aku dan ibuku sampai dirumah Tante Firyal. Senangnya, banyak makanan disini. Ada kue apem, lapis legit, kue poci, dan masih banyak lainnya.
“Tante Firyal, Alhamdulillah ya akikahnya akhirnya akan terlaksana. Wah, rejeki anak soleh ini ya!”, ujar ibuku ke tante Firya.
“Aih, Alhamdulillah pisan ini sih Bude. Sejak berjualan siwang, keuntungannya aku kumpulkan untuk beli kambing ini. Alhamdulillah, ga perlu berbulan bulan nabungnya, Alhamdulillah sudah terkumpul”, cerita tante Firyal.
”Siwang ? Oh,yang waktu itu tante bawa ya ? Enak lho! Akhirnya jadi juga ya produksinya. Emang ga repot, Te? Nanti bude bawa buat jualan di rumah juga ya, Te!“
“Ah, ga repot kok Bude, tinggal iris iris, apalagi dah ada alatnya, trus tinggal goreng deh. Oke ok tar bantu jadi reseller ya. Eh ayo makan dulu, nanti makanannya keburu dingin. Ada siwang juga lho biar tambah asyik makannya” ajak Tante Firyal
Akupun segera bangkit mengikuti ajakan Tante Firyal. Ehm, hidangannya begitu istimewa, aku sampe bingung mau pilih yang mana. Namun, diantara kebingunganku, aku lebih bingung lagi mencari siwang. Sepertinya siwang bukan makanan Cirebon. Karena aku belum pernah dengar. Ehm, sebaiknya aku menanyakan hal ini ke Tante Firyal saja supaya lebih jelas.
Akupun mencari sosok Tante Firyal, tetapi beliau tidak kutemukan. Tiba-tiba….ada yang menepuk pundakku, lalu terdengar suara berat itu.
“Hayoo Muti lagi apa ? Bawa piring, kok malah ke ruang tamu…makanan adanya di ruang makan lho !” celetuk Om Angga, suami Tante Firyal dan juga adik ibuku.
“Om Angga! Muti kangen banget sama Om, kangen ditraktir hehehhehe”, jawabku sambil bersalaman sekaligus mencium tangannya.
“Hahahaha, Muti Muti, kamu bisa aja ya. Ayo sini piringnya diisi makanan dulu. Kita makan dulu nanti ngobrol”
Setelah makan selesai, sambil istirahat di malam ini kamipun duduk santai di ruang belakang rumah Tante Firyal. Semuanya berkumpul. Ada Tante, Om, Ibu dan Ayahkupun sudah tiba di rumah Tante.
“Muti, tadi nyari apa di ruang tamu ? Hayoo cerita!” Tanya Om Angga mengawali percakapan.
“Oiya Om, Muti tuh tadi mau cari yang namanya siwang. Itu apa si Om? Kata Tante, siwang ada di meja makan, tapi kok Muti cari ga ada?”
“Ya ampun, Muti, dari tadi Muti makan siwang buat tambahan lauk lho. Ga terasa ya hehehehe?” jawab Om Angga sambil tertawa terbahak bahak.
“Muti, siwang tuh yang ada di toples merah, rasa pedas. Toples kuning rasa original.”, papar ibuku.
Oalah, aku baru tahu itu ya yang namanya siwang. Ternyata bawang goreng yang dikasih terasi. Jadi SiWang itu adalah Terasi Bawang. Aroma terasi khas Cirebon yang membuatku selalu nambah dan nambah lagi siwangnya untuk lauk. Apalagi makannya bersama nasi hangat, ehm dijamin makin nambah nasi dan siwangnya. Siwang ini sudah ada dari jaman dulu.
“Emang kenapa Muti nyari siwang ? “, Tanya Ayah.
Kebetulan sekali ayah menanyakan alasanku mencari siwang. Akupun paparkan keinginanku membeli sepeda dan obrolanku dengan ibu siang tadi.
“Lalu apa hubungannya dengan siwang ?” Tanya Om Angga.
“Begini Om, Tante, Ayah, Ibu, karena Muti harus nabung buat beli sepeda tapi kan pasti lama terkumpulnya ya kalo Cuma nabung tiap hari, akhirnya Muti dapat ide dari obrolan Ibu dan Tante tadi sore…idenya yaituuuuu berjualan siwang biar dapet uang tambahan ! Bagaimana ?”, paparku. “Tapi Muti ga tahu harus jualan kemana ? Muti paling njualinnya ke guru-guru dulu. Ehm kemana lagi jualannya ya?
“Waa, ide brilian….bagus itu. Coba dipikir lagi mau dijual kemana ? Kalo Tante sama Om menitipkan di warung makan atau sembako!” sahut Tante Firyal.
“Wah, anak ibu hebat idenya. Ibu malah ga kepikiran begitu”, puji ibuku.
Sedangkan Ayah mengusap-usap rambutku kemudianl mengacungkan dua ibu jarinya.
 “Eh sudah malam, ayo semuanya istirahat!Besok banyak tamu akan dating. Kita harus bangun pagi”, sahut ibuku. Kami semuapun beranjak ke kamar masing masing. Sebelum tidur akupun menengok dede bayi Arfan, menciuminya gemeess sekali. Sambil mendengarkan petuah petuah dari Tante dan Om bagaimana cara menjual siwang dan lain lainnya. Jam pun sudah menunjukkan pukul 9 malam. Akupun pamit tidur.
Setelah mengikuti acara akikah dede Arfan, sore kami baru kembali kerumah. Tante dan Om membawakan banyak sekali siwang untuk aku jual. Akupun dah menyusun rencana mau menjual siwang ke Bu aos, ke warung warung makan sepanjang jalan menuju ke sekolah, juga ke mini market dekat sekolah. Guru-guruku juga aku tawari siwang jualanku. Ohya aku juga menitipkan siwang ke pedagang sayur mayur di deket sekolah. Begitulah saran Ayah dan Ibu juga Tante dan Om bahwa menjual siwang itu di tempat tempat yang terdekat dahulu.
Alhamdulillah, setelah satu bulan berjualan dengan cara menitipkan siwang, sekarang uang tabunganku sudah mulai banyak. Ibu memperlihatkan jumlah tabungan dari hasil berjualan siwang. Waaa, sudah terkumpul Rp. 950.000,- ehm kira-kira sudah cukup belum ya buat beli sepeda?
Akupun menanyakan ke ibu apakah uang tersebut sudah cukup untuk membeli sepeda.
Tiba-tiba Ayah menyahut, “Nanti sore kita beli sepeda !”
“Horeeee, terimakasih Ayah! Tapi…apakah uangnya cukup, Yah ?” tanyaku sekali lagi
“Ehm, uangnya kurang sih Muti. Tapi ga apa apa, nanti ayah yang menggenapi uangnya agar cukup buat beli sepeda ya!” jawab Ayahku
“Terima kasih Ayah, Ibu”, akupun kegirangan dan memeluk mereka bersamaan.
“Tapi janji ya, jualan siwangnya terus dilanjutkan walaupun sepeda sudah terbeli”, tegas ibuku
“Siap, Bu BOS!”
Akhirnya, akupun bersorak sorai kegirangan sambil terus bersyukur dimudahkan menabung dengan cara berjualan. Akupun sudah membayangkan masa masa lelah berjalan kaki menuju sekolah sudah berakhir.
Di depan mataku sekarang sudah berjejer banyaaaak sepeda. Aku senyum senyum melihat sepeda yang semuanya tampak indaah, baguus.
“Yah, beli semuanya aja ya, Muti bingung pilih yang mana?”, gurauku ke Ayah dan Ibu.
“Boleh beli sepeda semuanya. Tapi nanti dijual lagi ya sepedanya”, sahut Ibuku sambil tertawa terbahak bahak bersama Ayah. Kamipun tertawa bersama – sama.
 Karena hari sudah sore, maka aku segera memilih sepeda warna biru. Aku suka warna biru, karena mengingatkanku pada warna langit yang biru. Langit yang kini terhampar luas membentang.
Sesampainya dirumah, aku menempelkan tulisan yang sudah dibuat Ayah.


Heart: KKPU
Kecil-Kecil Punya Usaha
Karena Siwang 
Aku Jadi Beruang
 









Aku menuju lapangan tempat anak anak biasanya bermain sepeda.
“Kring-Kring-Kring-Kring”
Tiba-tiba aku dengar suara sepeda dibelakangku, belum lagi aku menengok, sepeda itu sudah menyalipku dan menuju pohon kersem yang rindang.
“Yaya, tunggu aku…”, teriakku mengejar Yaya dengan gowesan sepeda yang makin ku percepat.
“Sepeda baru, Mut? Berarti besok kita bisa berangkat bareng ni”, kata Yaya sambil memanjat pohon kersem dan mengambil buah kersem yang merah. Akupun mengikutinya sambil membawa plastik untuk menyimpan buah kersem tersebut. Kamipun mengobrol diatas pohon kersem sembari memakan kersem kersem yang memerah.
Matahari kian terbenam, maka kamipun beranjak turun dari pohon kersem menuju rumah masing – masing. Sebelum berpisah, Yaya membisikkan sesuatu kepadaku.
“Nanti malam, kirim siwang ya kerumahku, aku lupa ibuku memesan siwang 3 pedas dan 2 yang original. Aku tunggu ya dirumah, Muti Beruang hehehehe”, Ledek Yaya.
Akupun senyum dan mengacungkan dua ibu jariku. Nah, siapa yang mau jadi beruang sepertiku ?